tag:blogger.com,1999:blog-23576418009786506502024-03-12T21:29:57.875-07:00Dunia Maya ParamaUnknownnoreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-2357641800978650650.post-49548235340711911482014-08-15T01:04:00.004-07:002014-08-29T19:56:58.182-07:00PARAMA SCHOOL MAGZ 33RD EDITION (Online Version)<div data-configid="0/9118868" style="width: 650px; height: 426px;" class="issuuembed"></div><script type="text/javascript" src="//e.issuu.com/embed.js" async="true"></script><br />
<span style="background-color: white; color: #292f33; font-family: 'Gotham Narrow SSm', sans-serif; font-size: 16px; line-height: 22px; white-space: pre-wrap;">33rd Edition of PARAMA SchoolMagz. Enjoy this colourful version. <a href="http://issuu.com/muhammad_zpw/docs/parama33pdf/1">Click Here</a></span>Alifhttp://www.blogger.com/profile/05051638599380051324noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2357641800978650650.post-29404634091852080022014-03-19T22:39:00.001-07:002014-07-08T18:28:49.813-07:00PARAMA SCHOOL MAGZ 34TH EDITION<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-qloMQQRWgjs/Uyp-q2XfWhI/AAAAAAAAAWM/g8pM3KUSIn4/s1600/Untitled-1.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a></div>
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-1zIAUuML1Hc/U7yaurl5_SI/AAAAAAAAAWo/vNvbbgCmKXs/s1600/1521503_804251516268268_1189993263_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-1zIAUuML1Hc/U7yaurl5_SI/AAAAAAAAAWo/vNvbbgCmKXs/s1600/1521503_804251516268268_1189993263_n.jpg" height="640" width="432" /></a></div>
<br />Alifhttp://www.blogger.com/profile/05051638599380051324noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2357641800978650650.post-9017881890617863372014-03-12T01:53:00.001-07:002014-03-12T01:53:53.136-07:00Generasi Unggul dengan Gerakan LiterasiHai paramers, pada tau gak sih apa itu gerakan literasi? Pasti sedikit banget diantara kalian yang tau apa itu gerakan literasi. Kebanyakan orang mendefinisikan gerakan literasi adalah gerakan melek huruf yang direalisasikan dengan membaca dan menulis. Padahal gerakan literasi bukan hanya kemelek-hurufan dalam aspek baca tulis melainkan keberaksaraan yang melingkupi segi fungsional dan budaya.<br />
<br />
Kepekaan atau literasi pada seseorang tentu tidak muncul begitu saja. Tidak ada manusia yang sudah literat sejak lahir. Menciptakan generasi literat membutuhkan proses panjang dan sarana yang kondusif. Proses ini dimulai dari lingkup kecil yaitu lingkungan keluarga, lalu didukung atau dikembangkan di sekolah serta masyarakat. Proses inilah yang menjadikan seseorang memiliki kebiasaan membaca serta menulis. Gerakan literasi bukan semata-mata hanya baca-tulis secara teknis melainkan kegiatan tersebut dijadikan sebagai kebiasaan untuk berkomunikasi, berekspresi, memperkaya wawasan, menambah pengetahuan, meningkatkan kualitas hidup dan mendatangkan manfaat dikehidupan sehari-hari. <br />
<br />
Di daerah perkotaan, gerakan ini biasanya diwujudkan dengan berbagai kegiatan seperti taman bacaan, perpustakaan keliling, kenduri literasi, sepeda buku dan gerakan kafe literasi. Gerakan-gerakan tersebut di buat sedemikian rupa agar masyarakat berminat mengikuti tanpa ada rasa jenuh.<br />
<br />
Perkembangan kebiasaan melakukan kegiatan merupakan proses belajar yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam hal ini kematangan individu dan ekternal seperti stimulasi dari lingkungan. Faktor eksternal yang seringkali disorot berpengaruh terhadap perkembangan minat dan kebiasaan membaca seseorang adalah lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan, dalam hal ini guru dan perpustakaan. <br />
<br />
Di lingkungan sekolah perpustakaan memiliki peranan penting dalam menciptakan gerakan literasi. Perpustakaan menjadi fokus sentral dalam hal akses ke bahan bacaan. Namun, perpustakaan hanyalah salah satu media atau lingkungan yang dapat mendukung pencapaian literasi tersebut. Di perpustakaan SMABA tersedia 60% buku teks, 20% buku fiksi, dan 10% penunjang. Buku-buku tersebut dibeli dengan anggaran tiap semeter, dropping droping dari dinas pusat(Airlangga, menpora), kenang-kenangan ppl, dan dari siswa yang mengganti denda dengan menyumbang buku. Setiap harinya banyak yang meminjam buku-buku fiksi dibandingkan buku teks, biasanya buku teks hanya dipinjam sewaktu akan ujian. Jumlah pengunjung perharinya kurang lebih 150 siswa dan 10 guru. <br />
<br />
Selain itu gerakan literasi SMAN 1 BATU adalah dengan pengisian majalah dinding(mading) yang ditulis oleh siswa perkelas yang mendapat giliran. Hal ini tentunya bertujuan membiasakan peserta didik untuk menulis. Selain itu, terbitnya kumpulan cerpen dan majalah tahunan yang diprakarsai oleh ekstrakulikuler PARAMA. Pembaharuan ini diawali dengan penerbitan kumpulan cerpen dan penerbitan majalah. Untuk pembaharuan majalah, tim PARAMA ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Mulai dari segi design dan juga isi. Untuk meningkatkan kreativitas anggota dalam memperbarui majalah dan kumpulan cepen akan diadakan diklat yang nantinya akan menunjang kualitas majalah. Diklat ini akan dilaksanakan di Kantor Penerbitan Majalah,dan di kantor tersebut anggota akan mengetahui bagaimana merancang majalah dari design sampai isi.<br />
<br />
Pendapat siswa tentang hal ini sangat bagus, karena gerakan literasi inilah yang mampu membuat siswanya menjadi jurnalis yang handal. Semoga PARAMA mampu menjadi wadah yang mengisnpirasi siswa untuk terus bekarya dengan aksaranya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2357641800978650650.post-33790665600794671982014-02-28T02:02:00.001-08:002014-02-28T02:06:55.530-08:00Cerpen: Bawalah Hatiku ke Amerika<h4>
Karya: Harrits Rizqi Budiman </h4>
<br />
Debu-debu usang menyapu pandangnya. Seorang lelaki pemalu melintas di jalan kosong berselimut tembok. Hening pagi mengganjal langkah keruh yang menuntunnya ke kelas paling belakang. Bangku-bangku sunyi dihiasi kepingan uraian cahaya dari balik cemara dan jendela. Rumus-rumus pengetahuan pada papan putih sisa hari kemarin masih berserakan abstrak. Ia tak tahu goresan apa lagi yang muncul dari penanya hari ini.<br />
<br />
“Hmmmm… Hari ini tinta bersiap lagi menulis kisahku dan aku tahu mungkin hari ini akan sama lagi. Mungkin aku bisa berfantasi atau lebih tenggelam daripada kemarin senja.”<br />
<br />
Gumam pilu selalu mengiringi pikiran otaknya tiap pagi. Wajah pesimis membisu penuh tanya. Detik tak berhenti mengalun hingga pukul enam lebih empat puluh lima. Perlahan sorak sorai terdengar. Ketukan irama langkah-langkah mengajak matanya meluncur pada teras depan pintu. Terlihat teman-temannya datang memasuki kelas dan mengusir sepinya. Namun mereka bermain sendiri, melupakan si lelaki pemalu pada baris paling belakang yang sedang bermuram sendu. Ia memang seorang yang tak mampu meledak namun jiwanya selalu menembus batas lebih tinggi dari angkasa. Selalu berimajenasi mengehempas samudera dan membawa bintangnya pada nirwana.<br />
<br />
“ Rizy! Tidak adakah senyummu detik ini? Marilah ikut kami bergurau. Tak perlu memeluk rindu pada seseorang.” Seorang teman menyapanya.<br />
<br />
Rizy, si lelaki pemalu, hanya memberi senyum kecut. Menggelengkan kepalanya lalu tertunduk lagi meraut pensil seolah berkata ia menolak. Memang seperti itulah pekerjaannya.<br />
<br />
Kriiiinnnnnggggg…… Krrriiiiiiiiiiiiinngg…. Bel sekolah menghentak nafasnya. Ia lalu membuka tas hitamnya, mengeluarkan buku-buku berisi sejuta anestesi yang telah diajarkan. Rizy tak pernah punya api untuk tiap materi, kecuali dia memang menyukainya. Tapi semuanya tak ia rasakan, hanya menunggu pukul dua kurang seperempat berdering lalu berlari menuju kamar kecil di rumahnya dan berbaring di atas kasurnya. Terkadang ia membuka dunia maya tempatnya bicara beberapa patah kata walaupun ia sering tak didengar, mungkin hanya sekedar celoteh atau kata-kata kiasan saja.<br />
Semua hari tak pernah terasa istimewa baginya. Selalu seperti terulang, terulang, dan terulang lagi pada episode membosankan. Tapi bukan berarti lekukan bulan sembilan puluh derajat tak pernah terlihat darinya. Terkadang ia pergi menyusuri jalanan kota yang temaram dihujani tetes embun malam sambil tertawa, tertawa sendiri.<br />
<br />
***<br />
<br />
Rizy memang tidak seperti yang lain. Kadang ia memang terlihat aneh dan mungkin memang aneh. Saat itu ia sedang berdiri menunggu giliran membayar uang sekolah bulanan. Seseorang menepuk pundaknya lalu berdiri disampingnya. Ternyata itu Enny, si gadis manis pujaan banyak lelaki di sekolahnya.<br />
<br />
“Hai. Aku duluan ya yang bayar.” Pinta Enny dengan wajah senyum cerahnya.<br />
<br />
Rizy tidak berkata apa-apa. Ia langsung berbaris di belakang Enny, pertanda permintaan Enny dikabulkannya. Tapi ia tetap si lelaki pemalu yang cuek. Setelah ia membayar, ia kembali lagi ke kelasnya.<br />
Semua pelajaran telah usai, namun Rizy tak segera pulang. Ia memang sengaja pulang sore sambil membaca-baca buku fiksi di sekitar halaman sekolah, di bawah pepohonan yang mengelilinginya. Terdengar langkah sepatu menghampirinya dari belakang.<br />
<br />
“Hai Riz, sedang apa kamu? Apa kamu tidak kembali ke rumahmu? Apa aku mengganggumu?” sapa Enny kemudian duduk di samping Rizy.<br />
<br />
“Oh, hanya membaca-baca buku-buku kuno yang kupinjam dari perpustakaan tadi pagi. Sepertinya di sini lebih baik daripada mengurung di rumah. Mmm… Kamu tidak pernah menggangguku, En, silahkan saja jika kamu mau menemaniku, bila mau.”<br />
<br />
“Oh, maaf. Aku harus segera pulang. Mungkin lain kali saja. Sampai jumpa.”<br />
<br />
Si gadis pergi ke luar sekolah. Rizy hanya memerhatikan langkah-langkah mungilnya. Awan hitam bernaung di atas kepalanya. Titik titik gerimis menjadi hujan, memaksa Rizy untuk berteduh, menanti terang dan segera pulang. Dan memang awan menangis tak lebih dari sepuluh menit, Rizy memutuskan untuk pulang saja.<br />
Sesampainya di rumah, ia lempar sepatunya yang basah ke bawah tempat tidur. Lalu ia mengambil buku catatannya dan sebuah pensil untuk menulis beberapa sajak puisi yang memang sudah menjadi kegemarannya sambil memainkan lagu-lagu kesukaannya lewat petikan dawai-dawai pada gitarnya. Sebuah surat kabar terlihat di bawah meja belajarnya. Sepertinya itu adalah surat kabar tahun lalu, tulisannya sudah mulai pudar. Diambilnya surat kabar itu lalu ia baca. Sebuah topik sorotan merayu matanya untuk membacanya. “Pelajar Indonesia Tembus Amerika” adalah judul topik itu. Ia teringat pada cita-citanya untuk bersekolah teknik arsitektur di negara itu, cita-citanya sejak dulu. Lalu ia keluar dari kamarnya, bermain gitar di ruang tamu sambil memandangi tetesan hujan yang turun lagi. Lalu ibunya datang, membawakan secangkir teh hangat untuk Rizy. Ibunya duduk di sebelah Rizy.<br />
<br />
“Apa kau tidak kedinginan, Riz? Ibu ambilkan jaket ya?”<br />
<br />
“Tidak usah, Bu. Baju ini tebal, tak usah memakai jaket.”<br />
<br />
“Oh, baiklah.” Jawab ibu singkat.<br />
<br />
“Ibu.” Ucap Rizy.<br />
<br />
“Ada apa Nak?”<br />
<br />
“Ibu, jika suatu hari aku pergi jauh meninggalkan negeri ini, mengarungi angkasa, menjelajah dunia menuju negeri lain, apakah ibu mengizinkanku?”<br />
<br />
“Hmmm… Ibu tak pernah melarangmu, Nak. Selama itu baik untukmu, pergilah. Tapi maaf, Nak, mungkin ibu hanya bisa memberimu sebait doa untuk bekalmu.”<br />
<br />
“Tak apa ibu, itu sudah cukup. Dan Rizy sudah tahu, pasti ayah akan mengizinkan Rizy. Rizy akan membuat ayah tersenyum di surga sana.”<br />
<br />
Ibunya hanya tersenyum. Rizy lalu kembali memainkan gitarnya. Ketika hujan telah reda, ia kembali ke kamarnya untuk tidur.<br />
<br />
***<br />
Rizy terbangun. Ia lihat jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Segera ia bergegas untuk bersekolah. Terlihat Enny sedang duduk sendiri di taman. Rizy memberanikan diri untuk menghampirinya.<br />
<br />
“Hai Enny.”<br />
<br />
“Hai Rizy.”<br />
<br />
Mereka berdua lalu berbincang-bincang. Sepertinya mereka semakin akrab. Tak lama setelah itu bel masuk berbunyi, mereka segera menuju kelas mereka masing-masing.<br />
Saat istirahat, Enny datang ke kelas Rizy untuk menemuinya. Ia memberikan sebuah kartu undangan pesta ulang tahun. Ternyata Enny sedang berulang tahun hari itu. Rizy membuka kartu undangan itu. Ia melihat alamat rumah Enny di bagian belakang kartu undangan itu.<br />
<br />
“Enny, maaf. Sepertinya aku tidak bisa hadir pada acara ulang tahunmu. Rumahmu sangat jauh. Aku tak punya kendaraan apapun untuk membawaku ke sana. Maaf, aku tidak datang.”<br />
<br />
“Oh, tidak, kamu harus datang. Mmm… Bagaimana kalau aku menjemputmu?”<br />
<br />
“Ah, sepertinya itu hanya merepotkanmu saja. Terima kasih Enny, kamu terlalu baik.”<br />
<br />
“Tidak. Pokoknya nanti kamu harus datang! Biar aku jemput saja.”<br />
<br />
“Baiklah jika itu tidak merepotkanmu.”<br />
<br />
Rizy memberitahu alamat rumahnya pada Enny. Sehabis pulang sekolah, Enny langsung menjemput Rizy dan mengantarkan Rizy pulang setelah acara usai.<br />
Sepertinya Enny adalah teman yang baik. Saat Rizy tak memiliki uang untuk membayar buku sekolah, Enny membantunya. Saat Rizy sedang sendirian, Enny sering datang menemani Rizy. Begitu banyak kebaikan Enny. Sepertinya Rizy mulai menyukai gadis itu.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kini tiba saatnya untuk menerima raport kenaikan kelas. Semua orang tua dan wali murid datang untuk menerima raport anak mereka, tidak terkecuali ibunya Rizy. Terlihat Enny di depan kelasnya. Rizy datang menghampirinya.<br />
<br />
“Hai Enny, kok sendirian? Di mana teman-temanmu?<br />
<br />
“Entahlah, aku tak tahu. Mereka ada acara sendiri-sendiri.”<br />
<br />
“Bolehkah aku menemanimu?”<br />
<br />
“Oh, tentu saja. Silahkan.”<br />
<br />
Sambil menunggu orang tua mereka mengambil raport, mereka bercerita tentang pesta ulang tahun Enny yang sangat meriah kemarin lusa. Mereka saling bercanda dan Rizy semakin terbawa suasana. Bunga-bunga gugur menambah manis senyum Enny. Hati Rizy tak tertahankan untuk mengatakan sesuatu dalam hatinya.<br />
<br />
“Enny, apakah kau tidak merasakan sesuatu?”<br />
<br />
“Apa? Oh iya, udaranya sangat dingin.”<br />
<br />
“Bukan. Bukan itu! Lihatlah mataku.”<br />
<br />
“Mmmmm… Ah, aku tahu! Pasti kamu tidak mandi tadi pagi. Itu masih ada sesuatu di sudut matamu. Hahaha.”<br />
<br />
Rizy seketika itu malu. Ia bersihkan sesuatu yang ada di matanya itu. Lalu Rizy melanjutkan pembicaraannya.<br />
<br />
“Benarkah kamu tidak merasakannya Enny?”<br />
<br />
“Apakah itu?”<br />
<br />
“Baiklah aku sekarang tidak berbasa-basi lagi. Enny, kamu gadis yang baik. Mau menemani aku. Enny… aku… menyukaimu. Apakah kamu mau menjadi pacarku?”<br />
<br />
Hati Enny tersentak. Sejenak ia terdiam bisu. Ia tak menyangka bahwa Rizy akan mengatakan itu. Lalu ia menjawab.<br />
“Maaf Riz, maaf. Aku sudah ada yang punya. Maaf.”<br />
<br />
Enny meneteskan air mata, ia lalu berlari meninggalkan Rizy. Rizy berteriak memanggil Enny. Namun Enny sudah jauh. Hati Rizy terasa terbunuh oleh angin semu saat itu. Ia hanya bisa terdiam meratapi apa yang telah terjadi. Tak lama setelah itu ibu Rizy keluar dari kelas.<br />
<br />
“Kemari Nak!”<br />
<br />
Segera Rizy melupakan sakit hatinya. Ia berjalan menuju ke ibunya dengan perasaan yang bercampur aduk.<br />
<br />
“Mari Nak, kita lihat raportmu di rumah saja.”<br />
<br />
Ibu Rizy berjalan meninggalkan sekolah disusul oleh Rizy di belakangnya yang masih sakit hati atas kejadian tadi. Entah apa yang dipikirkan oleh ibu Rizy, ia hanya berjalan.<br />
<br />
“Bu… Ibu… hati-hati! “ Teriak Rizy.<br />
“Bu… I…”<br />
<br />
BRAAAAAKKKKKK !!! Terlambat sudah Rizy meneriaki ibunya. Seketika itu jalanan menjadi merah. Ibu Rizy tertabrak mobil, kepalanya hancur terlindas. Rizy berlari menuju tengah jalan. Suasana menjadi tegang. Semua orang berusaha menolong. Tapi sudah terlambat, ibu Rizy telah tewas. Rizy menangis, berteriak. Hanya terlihat raport yang dipenuhi darah. Semua kendaraan berhenti, hujan turun. Kini Rizy tak punya siapa-siapa lagi dan…<br />
<br />
“Ibu!”<br />
<br />
Teriak Rizy lagi dengan keras.<br />
<br />
***<br />
<br />
Beberapa minggu berlalu sejak kejadian itu. Ia tak memiliki apa-apa lagi. Ia hanya hidup dengan bayangnya. Hanya sesekali nada-nada minor dan elegi mengalun dari dawai-dawai gitarnya. Kini ia tak bersekolah lagi. Ia tak memiliki biaya. Bahkan kini hidupnya bergantung pada jalanan. Mengamen, terkadang memungut setiap makanan sisa dari tempat-tempat sampah busuk.<br />
Malam dingin merajam tubuhnya. Bergumam dalam hati.<br />
<br />
“Tuhan…”<br />
<br />
Air matanya terjun tak tertahankan.<br />
<br />
“Maafkan aku tidak bisa menjadi yang terbaik untuk siapapun. Mungkin aku harus mengakhiri hidupku, menyusul ibu dan ayah di sana. Mungkin itu seharusnya.”<br />
<br />
Ia berdiri di sebuah jembatan gantung setinggi tiga puluh satu meter di atas sebuah sungai yang dalam. Sepertinya ia telah putus asa. Diletakkan gitar kesayangannya dan secarik kertas berisi puisinya. Matanya terpejam.<br />
Saat itu suasana sangat sepi, hanya satu dua kendaraan saja yang lewat, ditemani lampu-lampu remang. Ia menarik nafas sekuatnya dan… tiba-tiba seseorang memegang tangannya.<br />
<br />
“Tunggu! Jangan pergi!”<br />
<br />
Rizy terkejut bertanya-tanya. Lalu ia menengok ke belakang. Ternyata seseorang itu adalah Enny.<br />
<br />
“Enny? Kenapa? Kenapa bisa?”<br />
<br />
“Aku tidak sengaja melewati jalan ini dan aku melihatmu akan bunuh diri. Tentu saja aku berlari menyelamatkanmu!”<br />
<br />
“Tapi kenapa? Biarkan saja!”<br />
<br />
Rizy kembali akan meloncat tetapi Enny menahannya. Enny memeluk Rizy sekuat tenaga.<br />
<br />
“Aku tidak ingin kamu pergi Riz. Aku menyayangimu.”<br />
<br />
Mendengar kata-kata itu, ia terdiam sesaat. Ia seolah tak percaya dengan apa yang Enny katakan.<br />
<br />
“Apa yang kamu bilang Enny? Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin!”<br />
<br />
“Ini mungkin Rizy dan ini nyata!”<br />
<br />
“Tapi dulu kau…”<br />
<br />
“Iya, itu karena aku dulu ada yang punya. Tapi sebenarnya aku menyukaimu Riz. Kau baik, kau apa adanya.”<br />
<br />
Enny lalu meneteskan air mata. Rizy tak bisa berkata apa-apa lagi. Enny masih memeluk Rizy dari belakang. Lalu Enny berkata.<br />
<br />
“Mari ikut aku. Kau boleh tinggal di rumahku.”<br />
<br />
“Tapi bagaimana dengan orang tuamu?”<br />
<br />
“Mereka sudah tahu dirimu. Ingatkah saat kamu datang ke acara ulang tahunku dan berkenalan dengan orang tuaku? Lagi pula kamu terkenal di sekolah, kamu pandai dan orang tuaku mengetahui itu. Ayolah, ikut aku, aku mohon.”<br />
<br />
“Aku tidak ingin merepotkan semua orang. Biarlah. Biarlah aku…”<br />
<br />
“Rizy, aku mohon, please.” Kata Enny memotong perkataan Rizy sambil menangis mendekapnya.<br />
<br />
Rizy tak bisa mengelak. Ia ikut Enny ke rumahnya. Di sana ia tinggal dengan keluarga Enny. Ia kembali bersekolah dibiayai orang tua Enny.<br />
<br />
***<br />
<br />
Betapa senang hati Rizy bisa tinggal bersama keluarga Enny. Ia bisa melihat bidadari setiap hari. Kini kehidupan Rizy semakin membaik, tetapi ia tetap seperti dulu. Seorang lelaki pemalu.<br />
Suatu hari di sekolah diadakan lomba membuatminiatur bangunan menggunakan barang-barang bekas dengan hadiah beasiswa sekolah arsitektur di Amerika. Tentu saja Rizy sangat tertarik dan ia pun langsung mendaftar. Hanya 3 hari waktu yang diberikan oleh para juri untuk memikirkan konsep miniatur bangunan yang akan dibuatnya. Namun lomba itu adalah lomba beregu sehingga Rizy sibuk memikirkan siapa yang akan diajaknya. Kemudiania teringat pada Enny. Enny adalah pembuat miniatur yang hebat. Bahkan ia sudah mempunyai usaha sendiri sebagai perajin miniatur. Mereka pun berkerjasama memikirkan konsep miniatur bangunan yang akan dibuat saat lomba.<br />
Tibalah saat hari perlombaan. Suasana sekolah penuh suka cita. Rizy dan Enny merasa agak gugup. Namun mereka tetap optimis untuk menang. Mereka menyiapkan barang-barang bekas yang akan mereka gunakan. Terlihat botol-botol plastik, kaleng-kaleng bekas, dan sampah-sampah lainnya memenuhi tempat lomba. Begitu pula peserta yang lain. Beruntunglah hanya ada 2 regu yang menjadi lawan Rizy dan Enny sehingga peluang mereka untuk memenangkan lomba ini sangat besar.<br />
Lomba pun dimulai. Para anggota regu segera merangkai barang-barang bekas itu menjadi miniatur bangunan sesuai konsep masing-masing regu. Para penonton berteriak memberi semangat kepada regu-regu yang mereka dukung. Para regu hanya diberi waktu selama dua jam untuk meyelesaikan karya mereka.<br />
Akhirnya hanya tersisa sepuluh menit lagi. Setiap regu semakin bergegas untuk menyelesaikan miniatur bangunan mereka masing-masing. Benar-benar menegangkan ! Dan waktu pun selesai. Regu pertama membuat miniatur bangunan berupa hotel. Regu kedua membuat miniatur bangunan berupa jembatan. Dan regu ketiga, Rizy dan Enny, membuat miniatur bangunan berupa menara dengan tangga vertikal melingkar mengitari menara tersebut. Sambil menunggu keputusan para juri, Rizy dan Enny berdoa agar mereka dapat memenangkan perlombaan ini.<br />
Tibalah saat pengumuman pemenang. Seorang juri naik ke atas panggung dengan membawa nilai hasil perhitungan akumulatif para juri. Juri itu pun langsung memulai membacakan hasilnya.<br />
<br />
“Baiklah, langsung saja akan saya bacakan jumlah nilai dan pemenang dalam lomba ini.”<br />
<br />
Suasana berubah menjadi menegangkan mengingat hadiah yang tidak ditawarkan tidak main-main, sangat menggiurkan !<br />
<br />
“Karena dalam lomba ini hanya ada dua juara, yaitu juara satu dan juara dua, maka saya akan langsung membacakan juara kedua. Untuk juara kedua diraih oleh… oleh… oleh… juara kedua diraih oleh regu dua dengan nilai 182. Regu dua berhak mendapatkan piagam penghargaan dan uang tunai Rp. 1.500.000,-. Selamat kepada regu dua.”<br />
<br />
Kini hanya tersisa antara regu satu dan regu tiga. Suasana semakin menegangkan. Bahkan pohon-pohon tak menggugurkan daunnya seakan mereka menahan ketegangan.<br />
<br />
“Dan untuk juara pertama, dengan nilai 431 dan berhak mendapatkan piagam, uang tunai sebesar Rp. 3.000.000,-, serta beasiswa sekolah arsitektur ke Amerika adalah… adalah… adalah… re…”<br />
<br />
Belum sempat juri tersebut menyelesaikan pembacaan pemenang tersebut, tiba-tiba listrik padam, pengeras suara yang dipakai mati. Mereka akhirnya harus menunggu sampai listrik kembali menyala. Satu menit, dua menit, lima belas menit, empat puluh lima menit, satu jam. Listrik tak kunjung menyala. Suasana bercampur antara ketegangan dan kegelisahan bagi regu satu dan regu tiga. Lima menit kemudian listrik kembali menyala. Pembacaan lomba kembali dilanjutkan.<br />
<br />
“Mohon maaf atas terjadinya kesalahan teknis. Sekarang saya akan melanjutkan pembacaan juara pertama. Dengan nilai 431, yang berhak mendapatkan beasiswa ke Amerika adalah… adalah… adalah… adalah… regu satu. Selamat kepada regu satu. Kalian berhak mendapatkan hadiah tersebut. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.”<br />
<br />
Perasaan Rizy dan Enny seketika hancur. Mereka tak menyangka akan kalah. Mereka berdua kecewa. Rizy menangis sedih. Beberapa saat kemudian seorang juri naik lagi ke atas panggung.<br />
<br />
“Maaf, terjadi kesalahan pada pengetikan nama peserta. Juara pertama, dengan jumlah nilai 431 diraih oleh regu tiga. Selamat kepada regu tiga.”<br />
<br />
Tangis kesedihan kemudian berubah menjadi tangis haru. Mereka sangat bergembira. Hilang segala kekecewaan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sehari menjelang keberangkatan. Suasana sore itu masih dipenuhi suka cita. Rizy tak sabar menunggu esok. Ia duduk di teras sambil bermain gitar. Tiba-tiba… DAAAAAAAAAARRRR !!! Muncul suara ledakan dari dapur. Rizy langsung berlari menuju dapur. Dilihatnya Enny terbakar, melepuh. Semua orang di sana panik. Mereka berusaha menolong Enny. Rizy menelpon rumah sakit. Tiga puluh menit kemudian ambulan datang. Enny segera dibawa ke rumah sakit.<br />
Enny terbaring tak berdaya. Luka bakarnya sangat parah. Rizy dan keluarga Enny sangat sedih. Tiba-tiba Enny berkata.<br />
<br />
“Terima kasih mama dan papa yang sudah merawatku hingga saat ini, terima kasih. Dan Rizy, kau adalah yang terbaik. Terima kasih sudah menjadi kawan sejatiku. Ini, simpanlah ini, kalung hati kesayanganku, jangan pernah lupakan aku. Bawalah hatiku ke Amerika. Selamat berjuang! Terima kasih semua. Terima kas…..”<br />
<br />
Tiba-tiba Enny berhenti bicara, matanya terpejam, nafasnya hilang. Rizy segera memanggil dokter. Namun… semua terlambat. Enny telah tiada. Kesedihan tak terbendung. Duka menyelimuti. Rizy tak percaya secepat itu Enny pergi. Rizy sangat merasa kehilangan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kini saatnya untuk terbang ke Amerika . Rizy masih sangat berduka, namun ia harus pergi. Dilihatnya langit gelap dan sepi mendekap pilu. Hujan jatuh menyentuh hatinya dengan sebait doa.<br />
<br />
“Tuhan, terima kasih atas semua yang kau beri. Terima kasih sudah mengizinkanku untuk meraih cita-citaku.Selama langkahku tak terhenti oleh waktu, aku berjanji akan selalu melakukan yang tebaik. Ini untuk ayah, ibu, dan sayangku, Enny. Tuhan, jagalah mereka di sana. Terima kasih, Tuhan.”<br />
<br />
Rizy memasuki pesawat dan memandang ibu pertiwi untuk yang terakhir kali.<br />
<br />
***Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05349725266738664660noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2357641800978650650.post-86585066698304093652014-02-27T10:36:00.000-08:002014-02-27T10:36:16.162-08:00PARAMA School Magz 33rd Edition<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-AmonlMRoTGM/Uw-FW82u3FI/AAAAAAAAABw/28IImLImuUE/s1600/promo_parama_schoolmagz33rd_sman+1+batu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-AmonlMRoTGM/Uw-FW82u3FI/AAAAAAAAABw/28IImLImuUE/s1600/promo_parama_schoolmagz33rd_sman+1+batu.jpg" height="419" width="640" /></a></div>
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05349725266738664660noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2357641800978650650.post-52909350114618969182014-02-27T10:30:00.002-08:002014-02-27T10:30:58.881-08:00PARAMA School Magz 32nd Edition<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-fRBa70To6XQ/Uw-EDNlHSMI/AAAAAAAAABk/wI8AkMAeAXE/s1600/parama+majalah+sekolah+edisi+32+sman+1+batu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-fRBa70To6XQ/Uw-EDNlHSMI/AAAAAAAAABk/wI8AkMAeAXE/s1600/parama+majalah+sekolah+edisi+32+sman+1+batu.jpg" /></a></div>
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05349725266738664660noreply@blogger.com0